Rabu, 23 Maret 2011

KESATUAN WILAYAH LAUT INDONESIA DAN KEKAYAAN ALAM YANG TERKANDUNG DI DALAMNYA

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seperti kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan besar, yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan dikelilingi oleh lautan dan menjadikan Indonesia negara kepulauan yang mempunyai potensi sumberdaya alam laut yang kaya akan plasma nutfah serta berbagai jenis kekayaan alam lain yang terkandung di dalamnya.

Pengelolaan sumberdaya alam laut Indonesia harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan bangsa Indonesia. Dan untuk melaksanakan tujuan mulia ini tentu saja harus didukung dengan adanya kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan secara lestari. Hal ini perlu didukung dengan pemahaman secara seksama dalam bentuk langkah-langkah konkret yang dirumuskan secara mendasar dengan memahami aspek-aspek yang terkait di dalamnya antara lain tentang sifat maupun karakter laut sebagai sumberdaya; kepentingan-kepentingan semua fihak yang terlibat dalam pemanfaatan sumber daya laut; serta peraturan-peraturan yang berlaku baik secara nasional maupun internasional.

Laut di Indonesia telah dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan misalnya saja sebagai area perikanan tangkap dan budidaya, pertambangan, jalur transportasi, jalur kabel komunikasi dan pipa bawah air, wisata bahari, dan area konservasi. Ini berarti bahwa laut sebagai ruang (spatial) dimungkinkan adanya lebih dari 1 jenis pola pemanfaatan dalam satu ruang yang sama. Kenyataan lain di lapangan ternyata bahwa penerapan kebijakan pemanfaatan laut selama ini telah berjalan secara sektoral yang menghadapkan Indonesia pada satu permasalahan adanya kecenderungan meningkatnya konflik pemanfaatan ruang di laut sebagai akibat dominasi kepentingan sektoral. Konflik yang berlangsung secara terus menerus tanpa ada aturan perundang-undangan yang jelas untuk mengaturnya bukan tidak mungkin akan berakibat pada terjadinya disintegrasi bangsa atau perpecahan kesatuan yang diakibatkan oleh adanya ego masing-masing daerah dalam memanfaatkan ruang laut kita.

Pada akhirnya perlu ditetapkan kebijakan-kebijakan yang mengarah pada optimalisasi pemanfaatan lautan Indonesia yang dapat diakses dan dimanfaatkan oleh rakyat Indonesia dengan mengacu pada pemanfaatan sumberdaya alam hayati yang renewable dan lestari serta berkelanjutan, bukan untuk orang perorang ataupun sekelompok orang saja. Beberapa hal yang kiranya patut kita cermati antara lain mengenai :

1. Perkembangan Wilayah Laut Indonesia

2. Kebijakan Pengelolaan Laut

3. Kebijakan Pengelolaan Perikanan

4. Paradoks Kemiskinan Nelayan

5. Kebijakan Sektor Kelautan dan Perikanan

I. PEMBAHASAN

A. Landasan Teori

Ada beberapa landasan teori yang dapat dijadikan dasar untuk melihat perkembangan dan pemanfaatan laut di Indonesia seiring dengan berjalannya waktu dan adanya kesepakatan-kesepakatan tentang pengaturan hukum laut di Indonesia khususnya dan secara internasional pada umumnya.

Beberapa peraturan yang telah dijalani oleh bangsa Indonesia dalam rangka pengelolaan sumberdaya laut yang ada di wilayah Indonesia dan dijadikan cikal bakal untuk perkembangan hukum laut di Indonesia antara lain adalah :

    1. Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim No. 525 Tahun 1939 yang membagi wilayah laut Indonesia menjadi Laut Teritorial dan Laut Pedalaman.
    2. Deklarasi Djoeanda pemerintah Indonesia yang mengubah penentuan batas laut teritorial Indonesia menurut Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie Staatsblad 1939 nomor 442 pasal 1 ayat 1.
    3. UU Nomor 4/Prp/1960 tentang perairan Indonesia.
    4. Konferensi Hukum laut (UNCLOS- United Nations Convention on the law of theSea) III, pada konferensi ini telah disepakati pengaturan rezim-rezim hukum laut.
    5. UU.No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982 yang mulai berlaku mulai 31 Desember 1985.

B. Perkembangan Wilayah Laut Indonesia

Sejak proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, wilayah laut Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan. Pada awal berdirinya, Indonesia mengadopsi produk hukum peninggalan Belanda Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim No. 525 Tahun 1939. Ordonansi 1939 membagi wilayah laut Indonesia menjadi laut teritorial dan laut pedalaman.

Laut teritorial dinyatakan sebagai wilayah perairan yang membentang ke arah laut sampai jarak 3 mil laut dari garis surut pulau-pulau atau bagian-bagian pulau termasuk karang-karang, batu-batu karang dan gosong-gosong yang ada di permuakaan laut pada waktu air surut. Sedangkan perairan pedalaman Indonesia dimaksudkan sebagai semua perairan yang terletak pada bagian sisi darat dari laut teritorial termasuk sungai-sungai, terusan-terusan, danau-danau, dan rawa-rawa. Di luar wilayah perairan-perairan tersebut merupakan laut bebas diantara diantara pulau-pulau nusantara. Kondisi pembangian perairan seiring dengan perkembangan waktu, telah disadari dapat menimbulkan kerawanan ekonomi, keamanan atau bahkan politik.

Untuk mengantisipasi timbulnya kerawanan politik pada sidang dewan menteri tanggal 13 Desember 1957 disampaikan pengumuman pemerintah mengenai Wilayah Perairan Negara Republik Indonesia yang dibacakan oleh Perdana Menteri Ir. H. Djuanda. Dengan dikeluarkannya deklarasi ini maka ketentuan batas laut teritorial menurut Ordonansitentang Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim 1939 Nomor 442 pasal 1 ayat 1 menjadi tidak berlaku karena ordonansi ini membagi wilayah daratan Indonesia dalam bagian-bagian terpisah dengan teritorialnya sendiri-sendiri.

Pendirian pemerintah ini selanjutnya disampaikan pada konferensi internasional mengenai hal-hak atas lautan yang diselenggarakan pada bulan Februari 1958 di Geneva, Swiss. Pada pertemuan tersebut belum ada keputusan tentang rezim kepulauan di dalam konvensi hukum laut. Walaupun pada saat itu perjuangan untuk memperoleh pengakuan internasional tentang pengaturan laut berdasarkan konsepsi negara kepulauan belum membawa hasil, pemerintah Indonesia tetap konsisten pada kebijakan Deklarasi Djoeanda dengan menetapkan UU Nomor 4/Prp/1960 tentang perairan Indonesia, yang pada intinya menyatakan bahwa :

1. Kepulauan dari perairan Indonesia menjadi satu kesatuan, sedangkan laut dipisahkan dari daratannya. Untuk itu harus ditarik garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar atau bagian pulau-pulau terluar dalam wilayah Indonesia. Perairan pada sisi dalam garis-garis pangkal/dasar tersebut disebut sebagai perairan pedalaman;

2. Lebar laut teritorial dinyatakan 12 mil laut diukur mulai dari garis pangkal tersebut menuju ke luar.

3. Kedaulatan Negara Republik Indonesia mencakup perairan Indonesia, ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya, beserta sumber-sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya;

4. Di perairan pedalaman dijamin hak lintas damai bagi kendaraan air asing yang pengaturannya akan ditentukan tersendiri.

Perjuangan tentang wilayah laut negara kepulauan akhirnya berhasil meyakinkan dunia internasional pada 30 April 1982 di New York, diadakan Konferensi Hukum Laut yang menghasilkan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS-Inited Nations Convention on The Law Of The Sea) III. Pada konferensi ini adalah pengakuan terhadp bentuk negara kepulauan dengan pengaturan hak dan kewajibannya.

Pengakuan dunia internasional ini ditindaklajuti dengan diterbitkannya UU No. 17 Tahun 1985 tentag Pengesahan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982 yang berlaku mulai 31 Desember 1985. Sejak saat itu, Indonesia terikat dengan Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982, dan konvensi ini harus dijadikan pedoman dalam peraturan perundangan selanjutnya.

C. Kebijakan Pengelolaan Laut

Dengan ditetapkannya konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS), maka wilayah laut yang dapat dimanfaatkan mencapai 5,8 juta kilometer persegi terdiri atas 3,1 juta kilometer persegi perairan Indonesia (meningkat luasnya 57 kali dari hanya sekitar 100.000 km2 warisan Hindia Belanda) dan 2,7 juta kilometer persegi perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Berdasarkan statistik aset kewilayahan nasional, luas wilayah perairan Indonesia terdiri dari luas daratan kepulauan 2,8 juta km2, luas laut territorial 0,4 juta km2, luas wilayah laut ZEE 2,7 juta km2 dan klaim wilayah Landas Kontinen di luar 200 mil sementara ini telah disubmisikan ke Commission on the Limits of the Continental Shelf (CLCS) di sekretariat jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa adalah sekitar 3500 km2 di perairan barat Aceh (Gambar 2). Jumlah seluruh pulau mencapai 17.480 pulau besar dan kecil (setelah 24 pulau-pulau kecil dinyatakan tenggelam dan tidak dicantumkan lagi pada peta laut), sedangkan panjang garis pantai pulau-pulau nusantara mencapai 95.181 km lebih, yang merupakan garis pantai terpanjang keempat di dunia. Fakta fisik inilah yang menjadikan Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia walaupun belum layak disebut sebagai negara maritim.

Sektor utama Pembangunan Kelautan di Indonesia terdiri dari sektor perikanan, pariwisata bahari, pertambangan laut, industri maritim, perhubungan laut, konstruksi kelautan, dan jasa kelautan. Ditinjau dari geopolitik dan geostrategis, pengelolaan kelautan ini sangat logis jika dijadikan tumpuan dalam sektor pembangunan ekonomi nasional. Namun ironisnya, dalam Pembangunan Nasional ataupun Pembangunan Daerah sampai saat ini, sektor-sektor tersebut masih diposisikan sebagai sektor pinggiran (peripheral sector), terbukti dari masih rendahnya tingkat pemanfaatan sumber daya, penerapan teknologi, tingkat kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat nelayan.

Pembangunan Kelautan bukanlah sektor tunggal melainkan multi sektor dan multi fungsi, sehingga dalam pemanfaatannya diperlukan sinergi antar pengelola sumber kekayaan alam di laut dan koordinasi lintas sektoral yang terkait dan kompetan di bidang kelautan. Ditinjau dari fungsinya, maka sektor kelautan dibedakan menjadi fungsi laut sebagai transportasi, perdagangan, pertahanan keamanan yang sering dikelompokkan sebagai fungsi maritim, dan fungsi laut sebagai penyedia sumber daya dan jasa seperti perikanan, pariwisata bahari, pertambangan, konstruksi kelautan, industri maritim serta jasa kelautan lainnya.

Program pembangunan kelautan dititik-beratkan pada penganekaragaman, pemanfaatan dan pembudidayaan sumberdaya kelautan serta pemeliharaan kelestarian ekosistem dengan bertumpu pada penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Arahan program ini telah memberikan pedoman yang jelas tentang sasaran pembangunan sektor kelautan yang ditujukan pada upaya terciptanya penataan kelembagaan dalam rangka mengoptimasikan kemampuan nasional untuk mendayagunakan sumber daya alam laut di wilayah perairan Indonesia. Dengan demikian tantangan pembangunan kelautan yang masih dihadapi adalah bagaimana mewujudkan serta meningkatkan pengelolaan sumber kekayaan alam di laut, sehingga potensi kelautan yang masih bersifat comparative adventages dapat menjadi competitive advantages.

Walaupun kata kelautan tidak dicantumkan dalam UUD 1945 serta amandemennya, namun pasal 33 menyiratkan bahwa bumi dan air serta kekayaan yang terkandung di dalamnya, merupakan asset nasional dan dikuasai Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam hal ini termasuk kekayaan alam laut.

Kebangkitan pembangunan kelautan diawali dengan dicanangkannya Deklarasi Bunaken 26 September 1998 presiden B.J. Habibie, selanjutnya Gerakan Pembangunan (Gerbang) Mina Bahari 11 Okt 2003 oleh presiden Megawati Sukarnoputri yang mengemukakan konsepsi visi pembangunan kelautan untuk merubah paradigm pembangunan yang berorientasi pada land-based socio-economic development menjadi ocean-based socio-economic development. Hal ini tidak berarti meninggalkan pembangunan di darat, tetapi justru secara sinergis dan proporsional mengintegrasikan pembangunan sosial-ekonomi di darat dan laut.

Beberapa kegiatan internasional yang membanggakan dan selanjutnya menjadi monument sejarah kejayaan kelautan Indonesia adalah:

Penyelenggaraan World Ocean Conference (WOC) di Manado, 11-14 Mei 2009 yang diikuti oleh lebih dari 76 negara dan 12 lembaga nonpemerintah tingkat dunia telah melahirkan Deklarasi Kelautan Manado (Manado Ocean Declaration). Deklarasi Kelautan Manado yang terdiri atas 21 butir komitmen tersebut berisi program penyelamatan lingkungan laut secara berkelanjutan di setiap negara yang meliputi perlindungan terumbu karang, hutan mangrove, biota laut, deregulasi penangkapan dan perdagangan ikan demi kelestarian, dan kerja sama penelitian kelautan.

Pemecahan Rekor Dunia Selam Masal dan Sail Bunaken 2009 pada bulan Agustus 2009. Dua rekor dunia selam yang tercatat pada Guinness Book of Records 2009 diciptakan pada tanggal 16 dan 17 Agustus 2009 di perairan Malalayang, Manado, Sulawesi Utara, dalam dua kategori yaitu The Largest Scuba Diving Lesson dengan jumlah penyelam 2.465 orang dan The Most People Scuba Diving Simultanously. Selain itu, rangkaian kegiatan kelautan ini juga menampilkan parade kapal perang internasional (International Fleet Review/IFR).

Sail Banda 2010 yang dilaksanakan tanggal 27 Juli – 8 Agustus 2010 di tiga lokasi yaitu Banda Neira, kabupaten Maluku Tengah, kota Ambon dan Tiakur, ibu kota kabupaten Maluku Barat Daya. Thema Sail Banda 1020 adalah “Small Island For Our Future“ karena Maluku sebagai lokasi kegiatan ini merupakan provinsi yang memiliki struktur geografis dominan pulau-pulau kecil. Kegiatan utama dalam membahas thema adalah konferensi internasional tentang pulau-pulau kecil melibatkan 38 Negara pulau-pulau kecil (Small Island Developping States). Acara utama pada Sail Banda 2010 ini diantaranya yacht rally and race dari Australia ke Banda, kerjurnas olah raga perairan dan fishing game, dan internasional diving tournament.

Potensi sumber kekayaan alam hayati di laut mempunyai nilai strategis karena merupakan sumber makanan dan obat-obatan bagi mahluk hidup. Habitat sumber daya hutan bakau mencapai 2,4 juta Ha, sedangkan terumbu karang mencapai 8,5 juta Ha. Sumber kekayaan non hayati terutama sumber minyak dan gas bumi mencapai 86,94 Milyar barel minyak bumi dan 384,6 Trilliun kaki kubik gas bumi. Potensi migas ini 70% diantarnya terdapat di lepas pantai dan lebih dari separuhnya terletak di laut dalam. Pada saat ini telah beroperasi lebih dari 36 perusahaan minyak di Wilayah Kerja (WK) lepas pantai dari keseluruhan 153 WK yang melaksanakan eksplorasi dan ekploitasi di lepas pantai.

Prospek pengelolaan sumber kekayaan alam non hayati lainnya terutama sumber daya mineral kelautan di lepas pantai ini semakin berpeluang dengan ditemukannya indikasi baru potensi kerak mangaan, mineral hidrotermal, dan gas biogenik methan, dan gas hidrat di dasar laut.

Seperti telah disampaikan di atas bahwa pada tanggal 31 Desember 1985 Indonesia secara resmi telah meratifikasi Konvensi Hukum Laut Internasional dengan disahkannya UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS dengan segala konsekuensi yang akan muncul di kemudian hari, terutama menyangkut kewajiban dan tanggung jawab Indonesia untuk melaksanakan isi perjanjian yang tercantum di UNCLOS, termasuk membuat instrumen hukum nasional untuk menjamin penerapan isi perjanjian secara keseluruhan. Yang artinya Indonesia perlu memadukan ketentuan-ketentuan konvensi ke dalam peraturan perundangan nasional melalui penetapan, penyesuaian ataupun perubahan peraturan perundangan nasional.

Indonesia berupaya untuk menyusun peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan perkembangan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati secara internasional dan diarahkan sebagai landasan kebijakan dalam mengelola laut diantaranya adalah :

1. Melakukan Amandemen UUD 1945

Kandungan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 25-A hasil amandemen ke-2 yang disahkan pada tanggal 18 agustus 2000 dinyatakan bahwa ” Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang bercirikan nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang”, dapat dijadikan dasar bahwa perkembangan dan pemanfaatan laut di Indonesia seiring dengan berjalannya bentuk negara kepulauan telah lebih ditegaskan lagi. Dan beberapa pasal lainnya yang dapat dijadikan dasar penyusunan peraturan perundangan di bawahnya dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan adalah pasal 27, 28,30 dan 33.

2. Pengesahan UU. No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Dalam UU No. 5 Tahun 1960 dipahami bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Pada undang-undang ini diatur hak-hak atas atanah, air dan ruang angkasa serta pendaftaran tanah. Hak atas tanah menyangkut hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak guna pakai, hak sewa, hak membuka tanah, dan hak memungut hasil hutan serta hak lainnya yang selanjutnya akan ditetapkan dalam undang-undang.

3. Pengesahan UU No. 1 Tahun 1973 Tentang Landas Kontinen.

Landas kontinen adalah dasar laut dan tanah di bawahnya di luar perairan laut wilayah sampai kedalaman 200 meter atau lebih, dimana masih mungkin diselenggarakan eksploitasi dan eksplorasi kekayaan alam. Hak-hak Negara Indonesia atas landas kontinen menurut undang-undang ini meliputi :

a. Hak berdaulat dan hak eksklusif atas kekayaan alam baik hayati maupun nonhayati, antara lain mineral dan sumber yang tak bernyawa lainnya di dasar laut dan atau tanah di bawahnya, serta organisasinya yang termasuk jenis sendeter, yaitu organisme yang menempel pada dasar laut atau tanah di bawahnya.

b. Eksploitasi dan eksplorasi sumber kekayaan alam diberlakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan Indonesia yang berlaku di masing-masing bidang.

c. Penyelenggaraan penyidikan ilmiah dilakukan dengan peraturan dan seizin pemerintah Indonesia.

d. Pembangunan, perlindungan dan penggunaan instalasi, kapaldan atau alat lainnya untuk melaksanakan eksploitasi dan eksplorasi sumber-sumber kekayaan alam dilakukan sesuai dengan peraturan dan seizin pemerintah Indonesia.

e. Tahapan setiap perbuatan dan peristiwa yang terjadi pada instalasi, kapal dan atau alat lain untuk keperluan eksploitasi dan eksplorasi kekayaan alam landas kontinen, berlaku hukum Indonesia.

f. Menetapkan peraturan tentang pencegahan dan penanggulangan pencemaran.

Undang-undang landas kontinen ini masih berdasarkan kepada Konvensi Hukum Laut 1958 dimana batas landas kontinen ditetapkan sebagai berikut :

a. Sampai batas terluar tepian kontinen (continental margin).

b. Sampai jarak 200 mil ke arah laut dari garis pangkal apabila batas terluar tepian kontinen kurang dari 200 mil.

c. Sampai jarak 350 mil ke arah laut dari garis pangkal apabila batas terluar tepian kontinen melebihi 200 mil.

d. Sampai jarak 100 mil ke arah laut dari garis sama dalam (isobaths) apabila batas terluar tepian kontinen melebihi 200 mil.

4. Pengesahan UU No. 5 Tahun 1983 Tentang ZEEI

Sebagai tindak lanjut pengumuman pemerintah RI tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang dikeluarkan pada tanggal 21 Maret 1980, pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia untuk mempertegas posisi Indonesia dalam pengelolaan zona perairan ini. UU No. 5 Tahun 1983 menentukan hal-hal sebagai berikut :

a. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalar di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia (Pasal 2).

b. Jika ZEEI tumpang tindih dengan ZEE negara tetangga yang pantainya berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia maka ZEE antara Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan kedua belah pihak (Pasal 3).

c. Ketentuan kedaulan Indonesia di ZEEI untuk melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumberdaya hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di atasnya, dan kegiatan-kegiatan lanilla untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomis zona tersebut, seperti pembangkit tenaga air, arus dan angin (Pasal 4 ayat 1).

d. Berdasarkan atas kedaulatan tersebut, Indonesia menjalankan yurisdiksi yang berhubungan dengan :

v Pembuatan dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan yang lain;

v Penelitian ilmiah mengenai kelautan;

v Perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup.

e. Indonesia mengakui kewajiban berdasarkan hukum laut internasional, seperti kebebasan pelayaran dan penerbangan serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah laut (Pasal 4 ayat 2 dan 3).

f. Pasal 5 mengatur tentang kegiatan-kegiatan di ZEEI.

g. Khusus untuk kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya hayati di ZEEI ditekankan pengaturannya pada pasal 5 ayat 2 yang menyatakan ” eksplorasi dan/atau eksploitasi sumberdaya alam hayati harus menaati ketentuan tentang pengelolaan dan konservasi yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia”.

5. Pengesahan UU No. 4 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Untuk menjaga agar pemanfaatan sumberdaya alam hayati dapat berlangsung dengan cara sebaik-baiknya maka diperlukan langkah-langkah konservasi sehingga sumber daya alam hayati dan ekosistemnya selalu dapat terpelihara dan mampu menjaga keseimbangannya dengan baik. Unsur-unsur sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling tergantung antara satu dengan yang lanilla dan saling mempengaruhi sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu untur akan berakibat terganggunya ekosistem.

6. Pengesahan UU. No. 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Alam.

Pengertian benda berharga di laut berasal dari papal yang tenggelam (karma) estela 50 tahun termasuk dalam pengertian benda cagar alam budaya. Di sisi lain, benda berharga asal muatan papal tenggelam (karma) dapat merupakan kekayaan negara yang apabila digali dan dimanfaatkan dapat menambah pendapatan negara serta dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

7. Pengesahan UU. No. 24 Tahun 1992 Tentang Tata Ruang.

Dalam undang-undang ini, ruang dipahami sebagai wadah yang meliputi ruang daratan, lautan, dan udara sebagai satu kesatuan wilayah tempat manusia dan makhluk lanilla hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.

Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak. Sedangkan penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang dan hasilnya disebut Rencana Tata Ruang, yang dilakukan dengan berazaskan lepada :

a. Pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, selaras, seimbang dan berkelanjutan.

b. Keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum.

8. Pengesahan UU. No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia.

Bentuk negara kepulauan merupakan manifestasi kenyataan sejarah dan cara pandang bangsa Indonesia melalui Deklarasi Djoeanda tanggal 13 Desember 1957 dan UU No. 4 Tahun 1960 tentang perairan Indonesia, telah menetapkan wilayah Indonesia berdasarkan konsepsi negara kepulauan. Pengakuan konsep negara kepulauan membawa statu konsekuensi bahwa pengaturan hukum negara kepulauan sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 4 Prp Tahun 1960 perlu ditinjau kembali karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan rezim hukum negara kepulauan, seperti yang tertuang pada Bab IV UNCLOS. Perubahan ini selanjuytnya ditetapkan dalam UU No. 6 tentang perairan Indonesia. Ketentuan tentang wilayah perairan Indonesia sesuai dengan Pasal 3 disebutkan sebagai berikut :

a. Wilayah perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan dan perairan pedalaman.

b. Laut teritorial Indonesia adalah jalar laut selebar 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia.

c. Perairan kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lupus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai.

d. Perairan pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamannya semua, bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari statu garis penutup.

9. Pengesahan UU. No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Sasaran pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia adalah sebagai berikut :

a. Tercapainya keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup.

b. Terkendalinya pemanfaatan sumberdaya secara bijaksana, hak, kewajiban dan peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Pemerintah menetapkan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, adat istiadat dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

10. Pengesahan UU. No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dicabut dan diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004.

Undang undang ini mengatur kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Pemerintah daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia dalam wilayah dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungannya.

Kewenangan daerah di wilayah laut meliputi hal-hal berikut ini :

a. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut.

b. Pengaturan kepentingan administrasi.

c. Pengaturan tata ruang

d. Penegakan Hukum

e. Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara (Pasal 10 ayat 1 dan 2).

Undang-undang ini menyerahkan kewenangan penataan ruang laut (sejauh 12 mil) sepenuhnya lepada pemerintah daerah (Pasal 10). Selanjutya dalam pasal 11 penataan ruang menjadi kewenangan wajib pemerintah kabupaten/kota.

D. Kebijakan Sektor Kelautan dan Perikanan

Sumberdaya laut Indonesia merupakan aset nasional yang harus dikelola dengan penuh kebijaksanaan oleh seluruh rakyat Indonesia karena sumberdaya alam laut merupakan sumberdaya alam yang apabila di dipergunakan dengan tidak memperhatikan kelestarian sumberdaya alam hayati maupun seluruh kandungan sumberdaya alam yang ada di dalamnya, maka kerusakan laut dan ekosistemnya akan mengakibatkan penderitaan nasional karena laut merupakan sumber kehidupan kita.

Menurut Undang-undang No. 9 Tahun 1985 yang mengatur tentang pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia sejak tahun 2004 lalu, telah mengalami perubahan dan penyempurnaan yang dilakukan oleh pemerintah dan menjadi Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan.

Perubahan penyempurnaan ini dilakukan dengan mempertimbangkan alasan-alasan strategis yang berkaitan dengan perkembangan dunia perikanan dan tata pemerintahan di Indonesia serta isu-isu global, seperti pembangunan yang berkelanjutan. Alasan-alasan strategis tersebut adalah sebagai berikut :

1. Adanya pergeseran Orientasi Pembangunan Perikanan

Orientasi pembangunan perikanan pada tahun 80-an tercurah pada sector perikanan tangkap, seperti yang tercantum dalam Undang-undang No.9 YTahun 1985 yang lebih banyak mengatur bidang perikanan tangkap, daripada bidang budidaya atau yang lanilla. Tetapi dengan maraknya kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan dengan tidak memperhatikan stok atau sumber daya yang ada maka menimbulkan overfishing atau tangkapan berlebih pada daerah penangkapan tertentu. Relajar dari peristiwa tersebut maka pemerintah mengubah strategi pembangunan dari perikanan tangkap diarahkan ke perikanan budidaya.

2. Perkembangan IPTEK dan Social Ekonomi Masyarakat

Perkembangan ilmu dan teknologi perikanan yang cukup pesat, penataan ruag oleh pemerintah bauk pusat maupun daerah, perkembangan social ekonomi regional dan local serta tuntutan dunia internacional emerlukan pengaturan yang jelas di bidang perikanan. Seiring dengan itu maka perlu disiapkan peraturan yang jelas dan memuat semua sector atau bidang kegiatan perikanan baik tangkap maupun budidaya.

3. Penyesuaian dengan Peraturan Perundangan yang Baru

Era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini merupakan pengaruh positif terhadap perpindahan barang serta manusia dari satu ke negara lain. Untuk mengurangi dampak negatif perdagangan bebas ini terutama yang disebabkan oleh perpindahan hewan dari negara lain pemerintah menetapkan lembaga karantina yang diatur dengan undang-undang. Sedangkan untuk peningkatan penerimaan negara, pemerintah menerapkan sumber penerimaan negara bukan pajak (PNBP) termasuk diantaranya dari sektor perikanan. Untuk mendukung kedua aspek peningkatan pengelolaan sumberdaya, perlu adanya aturan yang jelas yang memuat tentang karantina dan penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari perikanan.

4. Pengaruh UU tentang Pemerintah Daerah

Dengan keluarnya undang-undang tentang pemerintah daerah terutama terhadap pengelolaan perikanan maka memerlukan reposisi peran pemerintah dan reposisi strategi pengelolaan perikanan secara nasional, karena di dalam isi undang-undang tersebut seolah-olah terjadi pembagian wilayah laut untuk daerah masing-masing, pemanfaatan dan pengaturan sumber yang ada diserahkan kepada daerah. Untuk itu perlu reposisi peran pemerinatah dan reposisi strategi pengelolaan perikanan nasional yang tertuang di dalam aturan nasional/ undang-undang yang jelas.

5. Perlu dilakukan Penegakan Hukum di Bidang Perikanan.

Ketentuan-ketentua hukum di bidang perikanan yang tertuang dalam UU No.9 Tahun 1985 memuat mengenai ketentuan pidana atau sanksi/denda bagi yang melakukan pelanggaran di lapangan namun belum mengatur mekanisme penegakan hukum secara jelas. Dengan meningkatnya tingkat pelanggaran yang ada saat ini maka diperlukan penyempurnaan peraturan-peraturan tersebut untuk meningkatkan penegakan hukum di bidang perikanan, antara lain mengenai lembaga yang berhak melakukan pengawasan perikanan di laut dan mekanisme penanganannya.

6. Perlu adanya Akurasi Data Statistik Perikanan

Dengan berkembangnya model pembangunan perikanan yang berkelanjutan (sustainable development) dibutuhkan data kondisi sumberdaya yang mempunyai akurasi tinggi, demikian juga untuk data statistik perikanan. Penekanan perlunya data dan statistik perikanan pada UU No. 31 Tahun 2004 ini dimaksudkan agar ada perhatian khusus dari semua pihak pengelola perikanan akan arti data dan statistik perikanan.

Berdasarkan alasan-alasan strategis di atas maka landasan / azas pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan ke depan menurut UU. No. 31 Tahun 2004 harus mengacu pada azas-azas :

1. Keadilan

Pengelolaan perikanan membutuhkan keikutsertaan seluruh tingkatan pemerintahan baik di daerah maupun di pusat. Azas keadilan ini tercermin dalam embagian kewenangan dan keseimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan.

2. Kemitraan

Partisipasi masayarakat dibutuhkan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, selain langsung terjun di lapangan mereka juga harus diikutsertakan dalam pembentukan kebijakan dan pelaksanaan aturan pengelolaan perikanan contohnya dalam hal pengawasan pelaksanaan pengelolaan perikanan.

3. Kemitraan

Laut merupakan milik bersama (common Property) termasuk juga sumberdaya alam yang berada di dalamnya. Oleh karena itu pengelolaan sumberdaya perikanan harus dapat dinikmati oleh semua fihak yang berkepentingan baik industri perikanan maupun masyarakat nelayan.

4. Keterpaduan

Banyak sektor yang berkepentingan dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan laut, maka dalam pengelolaan sumberdaya laut dan perikanan harus mengarahkan semua sektor yang berkepentingan dengan wilayah pesisir dan laut agar tidak terjadi konflik antar kepentingan. Keterpaduan ini bertujuan agar tercapai tingkat pemanfaatan yang optimal dengan memperhatikan semua dampak lintas sektoral yang mungkin timbul.

5. Keterbukaan

Masyarakat pesisir (coastal communities) yang sudah beratus-ratus tahun dan secara turun temurun memanfaatkan rauang atau sumberdaya pesisir biasanya mempunyai kearifan ekologis (ecological wisdom) untuk dapat mengelola dan memanfaatkan sumberdaya pesisir secara berkesinambungan dan menguntungkan. Pada umumnya mereka mempergunakan adat untuk mengelola sumberdaya pesisir. Misalnya sasi di Maluku, Panglima laot di Aceh dll. Sehingga pada akhirnya pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan membutuhkan keterbukaan antara pemerintah dan masyarakat nelayan.

6. Efisiensi

Permasalahan yang timbul baisanya berupa ketidakmatangan dalam merencanakan, saat implementasi di lapangan, pegawasan, penegakan hukum, dan sanksi pidana diharapkan dapat ditangani secara efisien dengan memperhatikan kaidah efisiensi birokrasi dan ketegasan hukum dalam menangani permasalahan yang timbul.

7. Kelestarian yang Berkelanjutan.

Salah satu dasar pemikiran dalam pengelolaan perikanan adalah sumber daya perikanan harus dikelola untuk menghasilkan keuntungan dalam jangka panjang dan berkelanjutan. Pengelolaan berkelanjutan (sistainable management) menjamin sumberdaya pulih tetap tersedia untuk generasi yang akan datang.

E. Permasalahan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan.

Dalam era globalisasi saat ini, pengelolaan perikanan memang bukan hanya menjadi masalah nasional jika dilihat dari aspek semakin meningkatnya perdagangan internasional. Dari laporan FAO menunjukkan bahwa dalam dua dekade terakhir nilai ekspor produk perikanan telah meningkat dari 15 miliar dolar Amerika pada tahun 1980-an menjadi 56 miliar dolar Amerika pada awal tahun 2000-an. Pada kurun waktu tersebut, share negara-negara berkembang terhadap akspor total juga meningkat dari 40% menjadi 50%. Sementara negara-negara maju masih mendominasi impor yang saat ini menguasai 80% total impor dunia. Ekspor produk perikanan dalam perdagangan internasional merupakan penerimaan devisa yang sangat berarti bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Secara global, penerimaan devisa dari ekspor inipun mengalami peningkatan tajam, dari di bawah 4 miliar dolar Amerika pada dekade 1980-an menjadi lebih dari 18 miliar dolar Amerika pada saat ini, bahkan nilai ekspor ini melebihi nilai ekspor komoditas pertanian lainnya seperti kopi, beras dan teh.

Namun demikian seiring dengan peningkatan peran sektor perikanan di pasar global, industri ini justru mengalami krisis global yang ditandai dengan menurunnya kemampuan sumberdaya untuk mensuplai permintaan, dan terjadinya over eksploitasi pada sebagian besar stock ikan dunia.

II. SIMPULAN

Dengan adanya permasalahan-permasalahan ini maka sudah selayaknya kita melakukan pembenahan besar-besaran mengenai peraturan yang akan menjadi acuan dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, sehingga permasalahan ini tidak akan membawa kita ke dalam keterpurukan dalam mengelola aset negara khususnya pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan dengan mulai membenahi beberapa sistem dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yaitu antara lain :

1. Sistem pengelolaan sumberdaya perikanan

2. Sistem Penjaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan

3. Sistem Bisnis Perikanan

4. Sistem Informasi dan Data Statistik Perikanan

5. Sistem Pendidikan dan Pelatihan Perikanan

6. Sistem Pengawasan Perikanan

7. Sistem Penegakan Hukum Perikanan dll.


Daftar Pustaka

www.mgi.esdm.go.id/.../memaknai-hari-nusantara-deklarasi-djoeanda-sebagai-pilar-utama-mewujudkan-kesatuan-wilayah (Diakses 17 Februari 2011).

blog.unnes.ac.id/.../perkembangan-wilayah-administrasi-indonesia (Diakses pada 17 Februari 2011).

Akhmad Fauzi, Dr.Ir.M.Sc. 2005. PT. Gramedia Pustaka Utama. Kebijakan Perikanan dan Kelautan, Isu, Síntesis dan Gagasan.

Budi Sulistyo. 2007. Universitas Terbuka. Modul. Legalitas Hukum Kelautan dan Perikanan.

Tidak ada komentar: